AKU SEORANG DUDA

 

Dulu, 2001 sampai akhir Juni 2006 kami masih bisa berkumpul, melewatkan hari-hari hidup melewati tawa dan canda. Selalu bertengkar mesra memperbutkan rasa asmara, seolah melengkapi indahnya sandiwara hidup bersama sang istri dan kedua buah hati kami.
Betapa tak terbesit sedikitpun dalam pikiran dan angan-angan,bahwa kami harus melampau semua ini yang kini hanya lewat kenangan. Sunyi mendamprat rindu, angin membiru, serangga bernyanyi dimalam sunyi, berkeluh kesah terkesan membawa suasana mata membasahi kedua bola mata ini.
Terbayang hidup sekedar ilusi kosong membawa kehilangan makna,bertengkar mesra memperebutkan ketiadaan asmara. Yang ada hanya gerimis datang melengkapi indahnya kengerian sandiwara ini.
Kini terkadang DIA datang membayang dalam mimpi tidur menjelang pagi, membuat aku terbangun dalam lelapnya tidur, kutegakan wajahku dan membuka bola mataku menatapi dinding kamar dengan penuh karisma membatasi hidup ini. Kedua bola mataku tertujuh pada kedua putriku yang terlelap tidur tanpa melukiskan kenangan beban batin diantara mereka berdua. Mungkin mereka masih terbuai dengan lelapnya tidur serta mimpi datangnya sikunang-kunang malam. Benar mereka belum memahami serta megerti betul akan kehidupan yang selama ini mereka lalui dengan sentuhan kasih ibu apa tidak. Mereka benar tidak mengerti semuanya akan kehidupan yang mereka sudah goreskan dengan memori hidup yang sungguh mencederai ingatan.
Badai hening kembali berkecamuk dalam lubuk hati, tersimpan rasa, teriiris sembilu menusuk jantung,hanya  dengan kalimat hancur dan retak keindahan dalam bayangan hening membadai. Kutegakan badanku, menghela nafas panjang dan kutanyajawab akan setiap persoalan yang sedang kami hadapi.
Setiap insan tak pernah mengimginkan hidupnya tidak bahagia dan romantis bersama keluarga. Bayangan wajah hanya tertatap dengan kedua bola mata ini pada bingkai fotomu yang kami jadikan dokumen paling berharga serta menyimpan makna saat ini. Terkadang bertanya, tentu jawabannya cuman aku dan kedua putriku yang menjawabi semuanya ini . Aku yakin dan percaya banyak kenangan yang manis dan pahit tersimpan rapih dalam dada ini. Duh................senyum yang pahit, tawa yang menggetirkan, mengaduk impian yang pahit dan mendekam kenisbian yang mengalir mewarisi hidup ini.
mengundang rasa trenyuh, tak mampu mengaduk-aduk trus.........perasaan pedih yang selalu melumuri realita kehidupanku saat ini, memasuki agenda baru dengan berstatuskan " AKU SEORANG DUDA".Mengapa demikian ? Padahal aku masih berkarang dengan  persoalan ditinggalkan pergikan sang istri terkasih yang menjadikan permenungan pribadi bersama kedua putriku saat ini.
Pengalaman jadi merepotkan punya status menjadi DUDA. Pemberontakan batin dan berkobarnya api selalu muda menyuluti, ketika mendapat tawaran/godaan untuk memikirkan harus menikah lagi.Atau sang tokoh lain yang selalu bersikukuh merumit-rumit persoalan sebagai alasan untuk bertahan menduda. Konflik batin yang bergerak menjadi konflik sosial ini menyusup pada banyak pertimbangan dalam diri sebagai seorang yang berstatus DUDA.
Benar-benar sepenuhnya menyadari bahwa pengalaman pedih ditinggal sang istri terkasih, menghadap sang ilahi tidak sebatas ketika ia menghembuskan nafas terakhir, tetapi membawa goncangan batin yang lebih menderu justru beribu rasa dan pelipur lara menjadi tempat indah berlabu untuk mengungkapkan bisikan batin yang mestinya dipercakapkan. Belum desakan harus menikah lagi dari banyak pihak yang  terkadang tidak atau mungkin belum memahami akan perasaan yang dialami yang menjadi substansi persoalan yang membutuhkan penyelesaian kematangan psikologis. Sehingga terkesan manajemen perasaan pun harus seimbang dan berkesinambungan dengan yang dipikirkan.
Ya.......... terkadang jelas, terkadang samar penglihatan mata ini, untuk menatap cakrawala yang membawa cerminan yang maha luas dalam hidup ini. Kini kami melenggang hidup ditengah hamparan jalan yang penuh bebatuan , melewati tertumpuknya jerami yang membusuk dan ranting-ranting dahan serta dedaunan yang kian berjatuhan. Ibarat seelok fatamorgana namun terasa hampa. Nafaspun sedikit bertahan berhenti bergerak lajuh menitih karier kehidupan yang penuh dengan gelombang dan nuasa hidup yang selalu pasang surut, membuat langka kaki semakin kuat dengan tidak melupakan mata hati untuk menatap ke depan yang lebih matang,dewasa dan mandiri walaupun terkadang terasa kesemutan.
Semilir angin terus berhembus menderai tubuh dan memejamkan mata sejenak untuk memotret wajah masa depan kedua buah hati yang jawabannya hanya " Fajar yangt bisa Fajar " yang akan menyinari cakrawala ini.
Semua pertanyaan ini menghantar kami pada jarak dan waktu yang merentang dan tak bersemayamkan pada jumpa. Menghangatkan kenangan, melelehkan ingatan dan menajamkan pikiran galau tetapi tidak untuk menderaikan hujan dimataku.
Aku mendambakan FAJAR
Seperti Gibran dan kekasih jiwanya
tetapi tidak untuk menderai hujan dimataku
Di tengah hamparan padang yang luas aku berteriak
karena rumput jeramimu sudah membusuk, menghumus di atas tanah
Menanti tetesnya hujan diatas pusaraMu
sedikit demi sedikit mengikis kulitMU
Tiba-tiba langit mengusung kelam
Mendung berjalan perlahan-lahan, bersatu dan menghitam di atas kepalaku
Aku tengadah menatapnya,tes....tes....tes..... hujan dan air mata
FAJAR...................
Aku mencintaiMu
Badai pasti akan berlalu........setelah engkau teteskan hujan ke bumi
namun aku yakin kelak engkau akan memberikan fajar baru
Setelah engkau berkecamuk dengan kelamnya awan hitam
dan derasnya diguyur hujan badai
Karena dari ufuk timur kejauahan,
Engkau akan memberi mata pelangi bersinar
menurunkan bidadari gemulai memapah kenangan hingga sirna.

Comments

Popular posts from this blog

Antara Puasa ,Paska dan Bencana sebuah Reflesi

'WINI NEAN' PANCASILA DALAM TATANAN TRADISI PERTANIAN

Hidupkan Kembali Budaya ( Tradisi Meminta Hujan )